Oleh Parsudi Suparlan (Antropolog Indonesia)
Disampaikan dalam Pelatihan Wawasan
Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Dosen Pendidikan Agama Islam Di Perguruan
Tinggi Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, R.I. Tugu,
Bogor, 26 November 1994
Pendahuluan
Dalam salah satu tulisan saya (1988: v), saya kemukakan
bahwa: “Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia
gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya, dan manusia dengan lingkungannya”. Dalam definisi tersebut, agama
dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan
manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama
tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial,
khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan
dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif
masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam
upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan
masyarakatnya.
Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli
Antropologi untuk memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia,
Michael Banton telah mengedit sebuah buku yang berjudul “Anthropological
Approaches to the Study of Religion, yang diterbitkannya pada tahun
1966. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut, yang kemudian
menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih diacu dalam berbagai
tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford Geertz yang berjudul Religion
as a Cultural System. Tulisan Geertz inilah yang telah menginspirasikan dan
menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama yang dilakukan oleh
para ahli Antropologi. Tulisan berikut ini juga mengacu pada teori Geertz
mengenai agama sebagai sistem budaya, walaupun dalam rinciannya tidaklah sama
dengan teori Geertz tersebut.
Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama
artinya dengan kata pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau
dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu
keadaan atau proses mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau
untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati,
maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau
pendekatan metodologi. Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama
dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang
atau dikaji. Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan
sebagai suatu sudut atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup
dalam sudut dan cara pandang tersebut.
Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan
sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan
sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah mendefinisikan konsep
kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini. Di Indonesia, diantara para
cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor
Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai
wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3)
hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat
atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang
dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan.
Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan
atau penelitian; dan, bukannya pendekatan atau metodologi untuk pengamatan,
penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin untuk menggunakan keseluruhan
gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai sebuah sistem yang bulat dan
menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata untuk mengkaji kelakuan atau
gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak mungkinan tersebut disebabkan
karena: (1) Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya
dengan kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan
kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba. (2) Kelakuan
dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan
manusia.
Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan
kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu
gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan
yang sama yang namanya kebudayaan. Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (1986), telah saya
kemukakan bahwa kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang
diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah
pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan
yang keyakinan bagi masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam
definisi kebudayaan tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena,
kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk dari kebudayaan.
Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan
digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami
lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk
memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut
untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai
acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem
penggolongan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk membuat
penggolongan-penggolongan atau memilih-milih, menseleksi pilihan- pilihan dan menggabungkannya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan
konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi
hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.
Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
kehidupan maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan
petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya
dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan
bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang
digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari
kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai
pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan
estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada
dalam setiap kebudayaan.
Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai
nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu
yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan
sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan sebagai
Pandangan Hidup atau World View; dan yang kedua, yang mempengaruhi dan
dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung
kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat,
memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling
berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan
kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku
yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku
yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda
yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya maka mereka juga tidak akan
saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari
masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya.
Secara individual atau perorangan maka pengetahuan
kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut dapat berbeda-beda atau
beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman individual masing-masing
dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam menyerap berbagai
rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan masyarakatnya atau
lingkungan hidupnya.
Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada
disekelilingnya dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah
dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi
kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya
tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya,
terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka
kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.
Pendekatan Kebudayaan dan Agama
Konsep mengenai kebudayaan yang saya kemukakan seperti
tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk
mendatang dan mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan
menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu:
sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya
oleh para warga masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai
pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu,
pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari
pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari
kebudayaan.
Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai
kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang
ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu
dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup
dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan
kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi
pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus
melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang
bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga
harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta
unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut.
Dengan demikian maka
agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Bila agama telah menjadi bagian dari
kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan
oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka
dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini.
Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin
dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut.
Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari
kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika
dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi
pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja. Apakah gunanya menggunakan
pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai
alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah
masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari
kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan
agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran
yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan
para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama
yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai
aspeknya yang lokal.
Tetapi, dengan
memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap
aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari
keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi
perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut
yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan
masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan
hidup masyarakat tersebut.
Penutup
Sebagai akhir kata mungkin dapat dikatakan bahwa pendekatan
kebudayaan dalam upaya memahami dan mengkaji agama, dan khususnya bagi para
guru agama adan da’i, menjadi amat penting bila upaya pemantapan kehidupan
keagamaan dan pengembangannya ingin supaya berhasil dengan baik. Implikasi dari
penggunaan pendekatan kebudayaan adalah digunakannya pendekatan kwalitatif,
seperti yang telah dilakukan oleh Max Weber dalam kajiannya untuk mengetahui
sebab dari kemunculan dan berkembangnya kapitalisme. Max Weber menggunakan
istilah verstehen yang artinya sama dengan pemahaman, yang menjadi dasar dari
pendekatan kwalitatif.
Kepustakaan
Geertz,
C, 1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study
of Religion. (Di-edit oleh Michael Banton). London:
Tavistock.
Koentjaraningrat. 1988. Ilmu Antropologi. Jakarta:
Bhratara.
Suparlan,
P. 1966.
Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.
1988 Kata Pengantar. Dalam Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi
Sosiologis (Di-edit
oleh Ronald Robertson). Diterjemahkan oleh Fediani
Syaifuddin. Jakarta: Rajawali.
0 komentar:
Posting Komentar