RSS

TANPA DRAMATURGI KITA TIDAK BERDAYA


“Disaat yang lain bersandiwara, gue apa adanya”. Ya tepat sekali. Apanya yang tepat? Maksudnya tidak asing bagi kita untuk mendengarkan slogan tersebut. Namun, disini kita tidak akan membahas mengenai promosi rokok, melainkan mengambil makna filosofis dari kalimat diatas dengan sedikit mengubah susunan katanya. “Disaat yang lain apa adanya, gue bersandiwara. Aneh rasanya jika mendengar kata “bersandiwara”, ngak juga kok. Hehehe. seolah- olah kita hidup dalam kebohongan, kepura- puraan, ataupun kemunafikan. Eits, bukan itu maksudnya, bersandiwara disini merupakan keadaan dimana individu akan selalu menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakatnya, atau dengan istilah lain disebut dramaturgi. Huh bahasanya teoritis sekali.
Dramaturgi merupakan teori dalam Sosiologi modern atau ilmu sosial yang dipelopori oleh Erving Goffman. Goffman melihat  bahwa setiap individu memiliki dua panggung sandiwara yang berbeda, sehingga perilaku antara layar depan dan layar belakang menunjukan perbedaan juga. Bingung Ya? Kita lihat contoh berikut ini, pak ahmad dikenal siswanya sebagai guru yang berdisiplin baik, ramah tamah, dan berpenampilan rapi, namun ketika pak ahmad berada pada lingkungan keluarganya,  penilaian siswa pun berbeda. Banyak menyatakan bahwa pak ahmad orangnya egois, berwatak tegas, dsb.
Nah, itu yang disebut dramaturgi. Sikap baik pak ahmad pada layar depan (dalam hal ini sekolah) merupakan hasil dari penyesuaian diri terhadap tuntutan atau pengendalian kesan dalam masyarakat. Sedangkan pada layar belakang (dalam hal ini keluarga) merupakan tempat pak ahmad yang terhindar dari tuntutan masyarakat, artinya ia berada pada posisi “sendirian” sehingga perilakunya menampakan keaslian. INGAT, perlu dicatat, bahwa perbedaan perilaku tersebut bukan kepura- puraan belaka (artinya dikendalikan oleh alam bawah sadar, ya walaupun ada oknum tertentu yang tidak demikian dan memanfaatkan untuk kecurangan), melainkan pengendalian kesan dan sekaligus tuntutan masyarakat. Jika pak ahmad tidak sesuai dengan perilaku guru, ya tentu masyarakat akan kecewa. Punya guru yang tidak tau diri, berpakaian yang serba aneh dan terbilang “membosankan”? Ya kecewalah kita. Nah seperti itulah Dramaturgi.
Lalu, seberapa jauh dramaturgi itu diperlukan? Ya sejauh mata memandang, hehehe. Bukan. Tapi perlu kiranya kita melihat strategi berikut ini. Pertama, pemahaman akan inti dramaturgi menjadi hal yang harus dipelajari, agar tidak terjadi “penyimpangan” dalam bersandiwara. Memahami artinya, tau bahwa diri kita sebenarnya dibutuhkan dalam masyarakat, itu artinya berprilakulah yang baik sesuai dengan posisi dan tuntutan. Kedua, prilaku kita pada layar depan (dihadapkan pada masyarakat) sebaiknya menunjukan kemurnian bukan sekedar tuntutan, karena kemurnian sikap, seperti berdisiplin murni        (ex, Jepang), dsb merupakan awal komunikasi yang baik sekaligus membuka kran persahabatan.
Bagaimana kalau teori dramaturgi ini tidak diterapkan? Kita lihat dulu contoh kasus berikut ini. Lho bukannya tadi sudah, ini yang aplikatifnya tau. Anggaplah bahwa kita sebagai orang yang berpengaruh, barangkali seorang guru, dosen, polisi, politikus, atau mahasiswa sekalipun. Kondisi kita dihadapkan pada tuntutan masyarakat, seperti halnya mengayomi, menjadi contoh, ataupun menjadi penasehat. Nah, bagaimana kalau semua itu tidak kita lakukan dengan kesadaran? Ya iya dong, masa’ ya iya lah, tentu masyarakat akan menjauh dan tidak menganggap kita. Kalau begitu, rugi dong kalau kita tidak menerapkan teori dramaturgi, apalagi tidak mengikuti dua strategi yang disebutkan diatas. Setuju?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAHASISWA DALAM KERANGKA KLUCKHOHN


Dewasa ini, menjadi mahasiswa merupakan dambaan semua orang, baik secara ekonominya tinggi maupun rendah. Apakah menjadi mahasiswa adalah faktor utama untuk mendapatkan pekerjaan atau tidak, bukanlah bahasan utama dibenak mahasiswa, yang terpenting adalah citra diri dalam masyarakat. Mahasiswa dikenal masyarakat sebagai agen perubahan, yang dapat diharapkan kemudian hari. Perannya pun meliputi hampir segala aspek, yang menandakan bahwa mahasiswa adalah multi intelegensi.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak luput dari pergerakan mahasiswa itu sendiri. Tindakan tersebut sebenarnya berorientasi terhadap ideologi dan nilai- nilai yang dianut, sehingga mempengaruhi bagaimana pilihan dan tindakannya. Rasional atau tidaknya pilihan ditentukan oleh bagaimana pandangan mahasiswa terhadap masalah yang diterimanya. Terkadang pilihan itu sendiri sering dianggap rasional secara subjektif, asalkan sesuai dengan cara- cara yang telah direncanakan.
            Menyinggung mengenai perubahan, tentu menyinggung juga apa yang disebut dengan sistem nilai budaya, karena perubahan terjadi salah satunya dilatarbelakangi oleh kondisi internal kelompok yang bersangkutan. Sistem nilai budaya merupakan prinsip- prinsip hidup dalam masyarakat yang bernilai dan dianggap berharga serta menjadi pedoman dalam masyarakat tersebut. Konsep sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu- ilmu sosial, yang terutama memfokuskan kepada kebudayaan dan masyarakat, dan baru secara sekunder kepada manusia sebagai individu dalam masyarakat. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah sistem nilai budaya pada mahasiswa? Menanggapi pertanyaan tersebut, maka perlu terlebih dahulu mengenal kerangka Kluckhohn mengenai sistem nilai budaya sebagai berikut:

MASALAH DALAM HIDUP

ORIENTASI NILAI BUDAYA
1.      Hakikat Masalah Hidup (MH)

Hidup itu buruk

Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berusaha agar menjadi lebih baik
2.      Hakikat Karya (MK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya (Prestise)
Karya itu untuk menambah karya (Prestasi)
3.      Persepsi manusia tentang waktu (MW)
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa sekarang
Orientasi ke masa depan
4.      Pandangan manusia terhasap alam (MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam
5.      Hakikat hubungan antara manusia dengan sesamanya
Ketergantungan kepada sesamanya (bersifat kegotong- royongan)
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh- tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri

             
            Kerangka Kluckhohn sebenarnya memberikan gambaran mengenai sistem nilai budaya pada tiga kebudayaan, yakni kebudayaan barat, timur, dan selain dari keduanya. Tetapi kerangka tersebut dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada konteks yang berbeda, seperti pada konteks mahasiswa, karena konteks tersebut berupa karakteristik dari masyarakat.
Pertanyaan lain pun muncul, sebagai mahasiswa, dimanakah letak sistem nilai budaya kita? Apakah selama ini kita sudah berorientasi dengan baik? Apakah orientasi kita telah dinilai baik bagi orang lain? Pernahkah kita berpikir bahwa hidup ini adalah senda gurau belaka, bersenang- senang, masa bodoh atau sebagainya, kalau seperti itu maka sadarilah bahwa orientasi kita menganggap hidup itu baik. Sisi negatif dari orientasi ini adalah mahasiswa menjadi pemalas, tidak suka bekerja keras, sehingga untuk pekerjaan kuliah pun copy paste andalannya.
            Ada juga mahasiswa yang orientasi karyanya untuk kedudukan dan kehormatan, sehingga kuliah pun disadari sebagai status belaka, pengennya dianggap “orang hebat” dikampungnya, padahal itu semua hanyalah di atas kertas. Tidak heran kalau akhir- akhir ini kita menemukan profesor yang plagiat, Rektor yang “bermuka dua”, dan sebagainya, itu semua karena tidak lain dan tidak bukan hanyalah haus akan kedudukan, sehingga peningkatan kualitas dianggap sebagai formalitas. Hal ini tentu dimulai semenjak mereka menjadi mahasiswa.
            Atau pernah kita melihat atau pun kita sendiri yang pelakunya bahwa kegiatan belajar, berorganisasi, atau bahasa mahasiswanya adalah kupu- kupu (Kuliah- Pustaka, Kuliah Pustaka), sehingga peningkatan kualitas menjadi prioritasnya, maka disimpulkan bahwa orientasi sistem nilai budayanya adalah karya itu untuk menambah karya atau prestasi menjadi tujuannya. Sekilas hal ini bisa menjadi positif, namun disisi lain dapat menyebabkan seseorang menjadi individualisme dan intelektualisme yang buruk jika tidak diimbangi dengan sikap yang baik.
            Kerangka Kluckhohn dapat juga dilihat sebagai bentuk “linier ke bawah”, artinya apabila orientasi mahasiswa mengenai hakikat hidupnya adalah buruk (Lihat tabel), maka akan mempengaruhi hakikat karyanya yakni untuk nafkah hidup, begitu selanjutnya orientasi ke masa lalu, tunduk kepada alam, dan bersifat gotong- royong. Namun, disisi lain kita menilai sistem budaya adalah sesuatu yang dinamis, yang artinya akan selalu berubah seiring dinamika masyarakat. Sehingga bentuk “linier ke bawah” tidak mutlak menjadi patokan, tetapi dapat menjadi alat analisis dalam memahami sistem nilai budaya mahasiswa.
             
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Goresan Tinta (Kumpulan Puisi)




JANGAN BERSEDIH
Jika mendengar kata- kata yang kasar
Jangan bersedih
Karena kedengkian itu sudah ada sejak dulu

Jika mempunyai sesuatu yang sedikit
Jangan bersedih
Sebab padanya terdapat keselamatan

Jika dihadapkan pada kesulitan dan permasalahan
Jangan bersedih
Karena itu semua masih kecil dihadapan Sang Khalik





MAAFKANLAH
Jangan biarkan bintik hitam menjadi karat hati
Yang olehnya ilmu dan kebenaran sulit diterima
Yang olehnya mata dan telinga tertutup rapat
Jangan biarkan kecacatan hati menjadi pribadi diri
Karena dengannya cahaya putih menjadi sunyi
Karena dengannya langit dan bumi menutup hari

Maafkanlah
Yang mungkin tidak bisa merubah masa lalu
Tapi setidaknya memperbaiki masa depan





PENYESALAN AKHIR
Awan biru menutup hari
Tanda dunia akan menangis
Anak kandung dipangku asing
Tanda hati lupa diri

Hati lupa karena risih
Mengingat hari semakin sempit
Upaya menjadi sulit
Jadilah ia penyesalan akhir




BERMUARA PADA DUA PILIHAN
Angin kering menyayat hati
Bagai bayangan di malam hari
Kering membawa kehausan
Kering membawa penderitaan

Angin basah di tempat tinggi
Bagai cahaya yang diiringi
Basah membawa dingin
Basah membawa sunyi
Hati kering kebiasaan dengki
Hati bersih kebiasaan bersuci
Kesabaran atau kebencian


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan


Parsudi Suparlan, Universitas Indonesia
Disampaikan dalam Diskusi Gandi Afternoon Forum Nasionalisme Dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi Kebangsaan
Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi)
Jakarta , 26 Oktober 2000 


Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau Bhineka Tunggal Ika (Suparlan, 1979) yang sedang mengalami transisi dari coraknya yang otoriter dan militeristik menuju masyarakat majemuk yang demokratis. Dalam proses demokrasinya Indonesia hanya mengakui dua kekuatan politik yaitu negara (pemerintah) dan individu (HAM). Pedoman bagi kehidupan atau kebudayaan demokrasi adalah konflik. Konflik yang terwujud sebagai proses-proses persaingan dan pertentangan untuk memenagkan sesuatu kepentingan atau sumber-su mberdaya yang ada dalam masyarakatnya. Dalam mengacu pada hukum dan konvensi yang berlaku, yang selalu ada wasit atau jurinya, menghasilkan kehancuran atau chaos.
Sebab, Bila sampai terjadi chaos maka ada yang bukan lagi demikrasi tetapi sewenang-wenangan atau otoriter. Sebab prinsip mendasar yang menjadi tujuan dari demokrasi adalah produktivitas. Produktivitas yang menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa dan negara. Dalam masa transisi sekarang ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menjalani kehidupan demokrasi . karena , disamping yang produktif, yang banyak adalah tukang-tukang palak ( bahkan ketua DPR Akbar Tanjung menduga bahwa pemerintah pun punya tukang palak, seperti dikutip di Pos Kota 22 Oktober 2000), atau preman. Tukang palak atau preman dapat dikatakan sebagai benalu masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung tindakan-tindakan mereka itu menghancurkan tatanan demokrasi.
Tiada tatanan hukum yang mantap yang dapat dijadikan acuan sebagai aturan main, dan belum mantapnya fungsi polisi sebagai pelayan keamanan bagi earga masyarakat, komuniti setempat, dan negara, telah menyebabkan bahwa berbagai bentuk konflik individual, ke lompok, antar kampung atau desa dan antar komuniti yang berbeda suku bangsa dan agama menjadi semakinmenjadi-jadi. Konflik antar individu bukan hanya saling menghancurkan secara individual tetapi menghancurkan rumah-rumah dabn harta benda (seperti perist iwa di Manggarai dan Matraman), kampung atau desa ( seperti di Cilacap, Brebes, Losari dan Indramayu), menjadi konflik antar suku bangsa (seperti yang terjadi di ambon dan Maluku) yang menghancurkan seluruh kehidupan komuniti dan tatanan kehidupan bersama dalam masyarakat yang mejemik. Atau konflik antara kelompok-kelompok di daewrah propinsi dengan pemerintahan nasional, dimana yang menjadi korban adalah warga dan komuniti yang dianggap bukan asli setempat, seperti terjadi di Aceh dan Irian jaya (Papua).
Dari semua konflik-konflik tersebut, yang selalu menjadi korban adalah komuniti (RT, RW, kampung, desa, pemukiman atau pertokoan). Mengapa hal ini dapat terjadi ? karena, dalam prinsip demokrasi yang kita pegang sekarang ini hak budaya komuniti tidak terc akup di dalamnya. Karena tidak tercakup didalamnya maka juga hak budaya komuniti tidak dijamin keberadaannya oleh undang-undang atau hukum yang kita punyai. Karena itu juga para pelaku kerusuhan atau amuk masa yang menghancurkan kehidupan komuniti tidak p ernah sampai dibawa ke pengadilan untuk diganjar dengan hukuman.. padahal, dalam komuniti itulah kesejahteraan warga masyarakat dipelihara dan dikembangkan untuk prduktivitas.
Sadar atau tidak sadar, membiarkan penghancuran atas komuniti-komuniti yang sek arang banyak berlaku di Indonesia sebenarnya bukan saja menghancurkan produktifitas dan kesejahteraan hidup tetapi adalah juga sama dengan membiarkan kehancuran tatanan demokrasi dan kebangsaan. Karena itu, hak budaya komuniti, terutama hak budaya komunit i yang tergolong minorotas, harus dijamin oleh undang-undang, sebagai unsur dari tatanan demokrasi, bersama dengan dijaminnya hak dan kewajiban negara dan individu. (HAM).
Demokrasi bukan hanya dilandasi oleh adanya hak serta kewajiban dari pemerintah (negara) dan hak serta kewjiban dari individu, melainkan dilandasi pula oleh adanya hak serta kewajiban dari komuniti (masdyarakat lokal) yang terwujud sebagai hak komuniti. Tiga unsur tersebut adalah tiang penyangga demokrasi. Masing-masing berdiri sendiri dan saling menghormati, tetapi masing-masing saling bersaing untuk memenagkan haknya, yang haknya tersebut akan didukung oleh dua unsur lainnya.
Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sebuah negara bangsa. Sebuah negara yang dibangun berdasarkan atas prinsip ideologi politik yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang dengan semangat persatuan dan kesatuan telah mempersatukan lebih dari 500 suku bangsa menjadi sebuah bangsa Indonesia. Ideologi politik yang telah mempersatukan suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dan terwujud sebagai sebuah negara kesatuan bukanlah ideologi politik suku bangsa dan tidak bersifat primordial (keyakinan-kayakinan yang pertama dan utama yang didapat bersama dengan kelahiran seseorang). Dalam negara bangsa, waerga masyarakatnya mengembangkan nasionalisme sebagai nilai sosial utama atau semangat patriotisme yang menekankan kesetiaan pada bangsa. Semangat ini mencakup tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai dan tanggung jawab bersama bagi semua warga negara.
Corak patriotisme yang di masa lampau dikembangkan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang dan komunis, adalah semangat kebangsaan yang harus diperkokoh karena adanya ancaman. Di zaman pemerintahan Bung Karno adalah adanya ancaman nekolim. Dan di zaman pemerintahan HM Suharto adalah ancaman bahaya laten komunis. Sebagai masyarakat majemuk, suku bangsa di Indonesia sebagai golongan sosial yang aspiratif adalah satuan yang terwujud dalam komuniti-komuniti dengan kebudayaan-kebudayaan masing-masing, dimana komuniti-komuniti tersebut mempunyai hak ulayat atas lingkun gan hidupnya secara tradisi atau konvensi sosial yang berlaku, serta merupakan sumber bagi kelangsungan kehidupan mereka masing-masing.
Dibandingkan dengan kehidupan bernegara, kehidupan dalam komuniti tersebut bercorak primordial. Satuan kehidupan suku b angsa yang primordial ini lebih diperkuat lagi dengan keyakinan keagamaan mereka m,asing-masing. Keyakinan keagamaan tersebut telah menjadi pandangan hidup (worldview) atau nilai-nilai budaya dasar dan etos (ethos) atau nilai-nilai budaya yang operasional dalam primodial kehidupan warga komuniti suku bangsa yang bersangkutan. Primodialitas ini dapat dilihat sebagai potensi untuk bertindak dan mengorganiasi kegiatan-kegiatan produktif maupun anti produktif dalam menghadapi lingkungan hidup masing-masing.
Potensi anti produktif dalam masyarakat majemuk, terutama diaktifkan dalam menghadapi orang atau kelompok yang tergolong sebagai suku bangsa lain dalam persaingan untuk memperebutkan sumberdaya-sumberdaya dan sumber-sumber rezeki yang ada dalam lingkungan komuniti-komuniti yang bersangkutan.
Kerusuhan di Ambon dan Kalimantan Barat, misalnya dapat dilihat sebagai ekspresi pengaktifan sukubangsa untuk menggalang solidaritas dan menguatkan sentimen anti golongan sukubangsa pihak lawannya. Dalam kasus karusuhan di ambon pada tahap permulaannya, Orang Ambon melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Buton Bugis dan Makassar adalah kategori sosial yang harus dihancurkan. Sedangkan dalam kasus Kalimantan Barat, yaitu di Kabupaten Sambas, Orang Melayu melihat bahwa mereka yang tergolong sebagai or ang Madura harus dihancurkan.
Hal yang sama terjadi di Aceh dan Irian jaya. Dalam kedua kasus terakhir ini pemerintah nasional disamakan dengan pemerintahan Jawa, sehingga sasaran yang digolongkan sebagai musuh adalah Jawa dan/atau yang berkolaburasi deng an Jawa, dan mereka inilah yang dihancurkan komunitinya. Hubungannya antar sukubangsa terwujud sebagau hubungan antar perorangan yang dapat melibatkan hubungan antar kelompok. Hubungan antar suku bangsa bisa terwujud sebagai hubungan pertemanan dan persahabatan dan bahkan hubungan perkawinan yang melibatkan kel ompok-kelompok kerabat dari sukubngsa yang berbeda. Tetapi hubungan antar sukubangsa juga dapat terwujud sebagai hubungan persaingan dan bahkan hubungan konflik.
Dalam setiap hubungan, termasuk hubungan antara sumu bangsa, selalu tercakup hubungan kekuatan. Yaitu hubungan kekuatan diantara para pelaku yang ditunjukkan secara empirik dalam interaksi maupun hubungan yang bercorak kategorial sebagaimana terwujud dalam stereotip dan prasangka diantara para pelaku dari suku bangsa yang berbeda. Profesor E M B runer (1974), dari penelitiannya di Medan dan di Bandung menunjukkan baahwa di Bandung ada kebudayaan Sunda yang dominan. Di Bandung, para migran atau pendatang harus mengadaptasi diri menjadi seperti orang Sunda untuk dapat diterima sebagai bagian dari k ehidupan sehari-hari di kota Bandung. Sedangkan di Medan hal itu tidak diperlukan, karena masing-masing warga (termasuk para pendatang) hidup dalam lingkungan kebudayaan suku bangsa sendiri.
Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintah daerah dapat dilihat sebagai upaya menuju masyarakat sipil yang demokratis di Indonesia. Masyarakat sipil yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang mengakui :kedaulatan rakyat”, pemerintah berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minorotas, jaminan hak-hak asasi manusia, persamaan hak di hadapan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, politik dan budaya, nilai-nilai toleransi, pragmatis, kerjasama dan mufakat (Lubis, 1994 dan USIS, n.d). Dengan adanya UU ini dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah di daerah telah dicoba dikurangi, agar berbagai bentuk ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat di masa lampau terhadap pemerintah di daerah tidak terjadi lagi.
Karena itu UU ini banyak berisikan pengaturan mengenai perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi, serta perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi serta perimbangan pendistribusian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pengaturan hubungan antara badan eksekutif dengan badan legislatif yang saling mengimbangi dapat dikatakan sebagai upaya untuk menciptakan tatanan demokrasi pada tingkat pemerintah pusat dapat dikatakan sebagai tidak sepenuhnya mencerminkan ta tanan yang demokratis. Sebab, adanya dominasi kekuasan pemerintah pusat melalui badan judikatif dapat melemahkan kehidupan demokrasi. Begitu jga dalam UU ini tidak tercermin adanya hak individu dan komuniti (masyarakat lokal).
Hak individu dan hak komuniti atau hak budaya disatu pihak perlu ditinjau dalam kaitan hubungannya dengan upaya penciptaan tatanan kehidupam yang demokratis. Karena, demokrasi bukanlah semata-mata harus dilihat sebagai aturan kenegaraan, tetap sebagai sebuah kehidupan di mana warga negara dan komuniti-komunitinya dalam masyarakat tersebut secara aktif turut berpartisipasi di dalamnya dan turut memproses program-program pembangunan sehingga menghasilkan kesejahteraan hidup yang berkeadilan sosial. Khususnya mengenai hak budaya komuniti (yang mencakup hak untuk hidup menurut cara-cara budaya dan keyakinan keagamaan masing-masing, hak atas lingkungan dan segala isinya yang secara tradisional dan konvensi sosial serta hukum adalah hak ulayatnya).
Pentingnya hak budaya komuniti untuk dipertimbangkan sebagai sebuah UU dalam UU Otonomi daerah adalah karena : 1. hampir semua wilayah RI tidak ada satupun yang penduduknya homogen satu suku bangsa. Dengan kata lain, masyarakat yang akan menjadi daerah otonomi adalah masyarakat yang heterogen secara suku bangsa dan keyakinan keagamaannya. 2.. Hubungan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya adalah hubungan kekuatan. Hubungan antar suku bangsa ini akan menghasilkan suku bangsa yang dominan sebagai lawan dari suku bangsa atau suku bangsa lainnya yang minorotas. Kemunculan dari y ang dominan sebagai lawan dari yang minoritas adalah dari pengakuan sosial mengenai siapa yang paling asli dan siapa yang tidak asli” dan siapa yang pendatang.
Pengakuan yang asli akan dibarengi dengan klaim atas lingkungan dan segala isinya sebagai milik nya yang mutlak. Sehingga mereka yang tergolong sebagai minoritas akan didiskriminasi atau diusir dan bahkan mungkin dihancurkan hak-hak budaya komunitinya. 3.. Konflik-konflik antar suku bangsa yang telah edan sedang terjadi di Indonesia terwujud sebagai penyerangan dan penghancuran komuniti (RT, RW, Kampung, desa, gereja, mesjid, kelenteng, pertokoan, dsb) dari pihak lawan. Penghancuran komuniti ditindak lanjuti dengan pengusiran atau pembersihan wilayah dari orang-orang dan unsur-unsur yang menjadi ciri-ciri pihak lawan. 4. Selama ini polisi telah secara ragu-ragu bertindak dalam melindungi dan menyelamatkan komuniti yang diserang oleh pihak lawan, karena tidak adanya UU yang mengatur ketentuan tentang adanya hak budaya komuniti. Keragu-raguan bertindak tersebut juga d isebabkan oleh kekuatiran akan adanya sanksi pelanggaran HAM, atau karena khawatir masa penyerang akan berbalik menyerang polisi. Padahal personil dan peralatan persenjataan polisi amat terbatas.
Bila sekiranya ada UU mengenai hak budaya komuniti, atau dengan kata lain hak budaya komuniti tersebut dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh UU, maka polisi akan mempunyai pegangan untuk menjalankan kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan keamanan. Bila sekiranya konflik antar suku bangsa yang menghancurkan hak budaya komuniti tidak sepenuhnya dapat ditiadakan setidak-tidaknya akan dapat dikurangi karena polisi akan dapat bertindak secara lebih tegas dalam melindungi keselamatan komuniti dari upaya penghancuran.
Dengan adanya UU ini maka di masa akan datang diskriminasi oleh yang asli terhadap yang tidak asli atau terhadap pendatang akan dapat ditiadakan, atau setidak-tidaknya akan dapat dikurangi. Sehingga, prinsip-prinsip demokrasi akan dapat dijadikan acuan un tuk betul-betul menciptakan tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis melalui dan dalam administrasi pemerintahan otonomi daerah. Dalam bayang-bayang adanya jaminan rasa aman karena adanya perlndungan hukum, maka komuniti sebagai wadah dari dan pendorong bagi kegiatan-kegiatan produksi akan dapat berfungsi dalam produktivitas secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan dapat berfungsi dalam produktivitas
secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan menjadi lebih baik, sehingga sadar atau tidak sadar ingritas kebangsaan akan diperkuat. Tidak ada masyarakat yang sejahtera hidupnya yang akan bersedia untuk saling menghancurkan.
Selama ini konflik-konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan antar seku bangsa dan agama, antar desa atau antar kampung, telah terwujud karena adanya isue mengenai ketidakadilan sosial dan karena memang kehidupan mereka secara ekonomi tidak sejahtera. dalam situasi kriris ekonomi nasionlal yang berkepanjangan, yang masih belum juga terselesaikan, adanya isu tersebut dengan mudah dapat ddigunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk memicu terjadinya konflik sosial.
Tindakan prefentif yang terbaik adalah menciptakan keadilan sosial dengan cara menciptakan kesehjateraan sosial. Yaitu dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan produktif dalam masyarakat, dimana hasil-hasil produksi tersebut dapat betul-betul dinikmati oleh mereka dan bukan oleh para preman atau tukang palak. Cara-cara seperti ini dapat dilakukan dengan mengacu pada model yang pernah dikemukakan oleh Milikan (n.d) atau mengacu pada keberhasilan model pariwisata budaya yang dikembangkan oleh Gubernur Bali Dr. Ida Bagus Mantra (Suparlan, 1993).
Hanya melalui adanya kesejahteraan sosial yang adil dan beradab maka integrritas atau semangat akan kokoh. Karena menciptakan kekokohan integrotas kebangsaan dengan cara menciptakan musuh untuk dihancurkan bagi Indonesia sekarang ini yang sedang menuju masyarakat sipil yang demokratis adalah tidak relevan lagi. Karena, bila musuhnya tidak ada atau hanya dalam imaji maka kekuatan memusuhi yang menghancurkan musuh bayangan tersebut hanya akan berbalik menghancurkan diri sendiri.


Bacaan Acuan :
Bruner, Edward M. (1974), ” The Expression of in Indonesia”. Dalam Abner Cohen (editor),
Urban Ethnicity. London : Tavistock. Hal 251-288.

Lubis, Mochtar (ed) (1994), Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta : Yayasan
OBOR. Milikan,
Max F. (nd), “Keadilan Sosial dan Produktivitas Dalam Pembangunan”. Dalam, Myron
Weiner (ed), Modernisasi : Dinamika pertumbuhan. Voice of America Forum Lecture
Series.

Suparlan, Parsudi (1979), ” Ethnic Groups of Indonesia:, The Indonesian Quarterly, 7,2: 55-73.

—————–(1993), ” Development Programme, Cultural Interpretational, and Successful
Implementation “, The Indonesian Quarterly, I : 99-109.

—————–(1999a), Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(1999b), Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(2000), Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Makalah untuk Simposium dan
Lokakarya Internasional Antropologi. Makassar, 1- 5 Agustus 2000. USIS (n.d), Apakah
Demokrasi Itu? Brosur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS