RSS

Adaptasi Dalam Antropologi


Oleh: Adi Prasetijo (tijok)
Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu konsep yang cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi (Adaptation). Kita harus memahami latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi “dewa” dalam paradigma perkembangan teori ilmu sosial, khususnya antropologi. Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang ada. Untuk tidak mengherankan jika secara epistemologi, teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya.
Ini berbeda memang dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak mendasarkannya pada proses penalaran induktif – dari gejala empiris terlebih dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para antropolog saat itu.
Konsep Dasar Teori Adaptasi
Konsep adaptasi datang dari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan, tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan level gerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi dari teori sistem, baik secara biological, perilaku, dan sosial yang dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250).
Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).
Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah (1) tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.
Dasar pembagian ke-4 tipe adaptasi diatas, berdasarkan atas laju kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf.
Disini ada proses uji coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses bekerjanya dianggap lebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia dianggap bekerja melalui daya tahan hidup populasi dimana masing-masing komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan. Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja dalam sistem biologi.
Adaptasi Sebagai Strategi Bertahan Hidup Manusia
Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada. Beberapa adaptasi juga adalah kesempatan, efek dari sosial dan praktek kultural yang secara tidak sadar mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi dari ke-3 mekanisme tersebut diatas.
Misalnya, variasi dalam praktek kultural mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya /group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.
Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yang lengkap/ bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya.
Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry, 243). Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190).
Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber alam dan pemakaiannya (Stanley A. Freed &; Ruth S. Freed, 220-226). Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika telah tercipta / dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan habitatnya.
Adaptasi ini merupakan daya tahan/ kelangsungan hidup kelompkk, reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini bekerja sesuai dengan tugasnya. Pencapaian dari tipe dari hungan yang semangat/ bergairah selelau meruipakan hasil modifikasi reprokal dalam budaya dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi hubungan sosial selam periode yang panjang. Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen dari apa yang kita lihat dari kubudayaan.
Dalam antroplogi ketika berbicara tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati. Lebih spesifik, kita berbicara tentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individu yang dipelajari dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).
Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara khusus menysesuaikan diri dengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabila mengacu pada proses belajar, respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi yang paling fleksibel.
Menurut Hardestry, ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi.
Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240).
Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243). Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian tujuan dan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan lingkungan.
Ada 2 mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya, dan mode yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat resiprositas. Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir tujuan dan beberapanya menjadi instrumental. Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, dan putusan.
Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry,271-272).
Adaptasi dan Konteks Kekinian
Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:
1.      Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah = terukur jelas, sehingga acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental disini. Ukuran-ukuran kemajuan dalam perubahan juga nampak dalam teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk suatu komuniti tertentu itu.
2.      Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut. Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri. 3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga menjadi subyektif saya pikir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar