RSS

Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan


Parsudi Suparlan, Universitas Indonesia
Disampaikan dalam Diskusi Gandi Afternoon Forum Nasionalisme Dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi Kebangsaan
Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi)
Jakarta , 26 Oktober 2000 


Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau Bhineka Tunggal Ika (Suparlan, 1979) yang sedang mengalami transisi dari coraknya yang otoriter dan militeristik menuju masyarakat majemuk yang demokratis. Dalam proses demokrasinya Indonesia hanya mengakui dua kekuatan politik yaitu negara (pemerintah) dan individu (HAM). Pedoman bagi kehidupan atau kebudayaan demokrasi adalah konflik. Konflik yang terwujud sebagai proses-proses persaingan dan pertentangan untuk memenagkan sesuatu kepentingan atau sumber-su mberdaya yang ada dalam masyarakatnya. Dalam mengacu pada hukum dan konvensi yang berlaku, yang selalu ada wasit atau jurinya, menghasilkan kehancuran atau chaos.
Sebab, Bila sampai terjadi chaos maka ada yang bukan lagi demikrasi tetapi sewenang-wenangan atau otoriter. Sebab prinsip mendasar yang menjadi tujuan dari demokrasi adalah produktivitas. Produktivitas yang menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa dan negara. Dalam masa transisi sekarang ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menjalani kehidupan demokrasi . karena , disamping yang produktif, yang banyak adalah tukang-tukang palak ( bahkan ketua DPR Akbar Tanjung menduga bahwa pemerintah pun punya tukang palak, seperti dikutip di Pos Kota 22 Oktober 2000), atau preman. Tukang palak atau preman dapat dikatakan sebagai benalu masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung tindakan-tindakan mereka itu menghancurkan tatanan demokrasi.
Tiada tatanan hukum yang mantap yang dapat dijadikan acuan sebagai aturan main, dan belum mantapnya fungsi polisi sebagai pelayan keamanan bagi earga masyarakat, komuniti setempat, dan negara, telah menyebabkan bahwa berbagai bentuk konflik individual, ke lompok, antar kampung atau desa dan antar komuniti yang berbeda suku bangsa dan agama menjadi semakinmenjadi-jadi. Konflik antar individu bukan hanya saling menghancurkan secara individual tetapi menghancurkan rumah-rumah dabn harta benda (seperti perist iwa di Manggarai dan Matraman), kampung atau desa ( seperti di Cilacap, Brebes, Losari dan Indramayu), menjadi konflik antar suku bangsa (seperti yang terjadi di ambon dan Maluku) yang menghancurkan seluruh kehidupan komuniti dan tatanan kehidupan bersama dalam masyarakat yang mejemik. Atau konflik antara kelompok-kelompok di daewrah propinsi dengan pemerintahan nasional, dimana yang menjadi korban adalah warga dan komuniti yang dianggap bukan asli setempat, seperti terjadi di Aceh dan Irian jaya (Papua).
Dari semua konflik-konflik tersebut, yang selalu menjadi korban adalah komuniti (RT, RW, kampung, desa, pemukiman atau pertokoan). Mengapa hal ini dapat terjadi ? karena, dalam prinsip demokrasi yang kita pegang sekarang ini hak budaya komuniti tidak terc akup di dalamnya. Karena tidak tercakup didalamnya maka juga hak budaya komuniti tidak dijamin keberadaannya oleh undang-undang atau hukum yang kita punyai. Karena itu juga para pelaku kerusuhan atau amuk masa yang menghancurkan kehidupan komuniti tidak p ernah sampai dibawa ke pengadilan untuk diganjar dengan hukuman.. padahal, dalam komuniti itulah kesejahteraan warga masyarakat dipelihara dan dikembangkan untuk prduktivitas.
Sadar atau tidak sadar, membiarkan penghancuran atas komuniti-komuniti yang sek arang banyak berlaku di Indonesia sebenarnya bukan saja menghancurkan produktifitas dan kesejahteraan hidup tetapi adalah juga sama dengan membiarkan kehancuran tatanan demokrasi dan kebangsaan. Karena itu, hak budaya komuniti, terutama hak budaya komunit i yang tergolong minorotas, harus dijamin oleh undang-undang, sebagai unsur dari tatanan demokrasi, bersama dengan dijaminnya hak dan kewajiban negara dan individu. (HAM).
Demokrasi bukan hanya dilandasi oleh adanya hak serta kewajiban dari pemerintah (negara) dan hak serta kewjiban dari individu, melainkan dilandasi pula oleh adanya hak serta kewajiban dari komuniti (masdyarakat lokal) yang terwujud sebagai hak komuniti. Tiga unsur tersebut adalah tiang penyangga demokrasi. Masing-masing berdiri sendiri dan saling menghormati, tetapi masing-masing saling bersaing untuk memenagkan haknya, yang haknya tersebut akan didukung oleh dua unsur lainnya.
Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sebuah negara bangsa. Sebuah negara yang dibangun berdasarkan atas prinsip ideologi politik yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang dengan semangat persatuan dan kesatuan telah mempersatukan lebih dari 500 suku bangsa menjadi sebuah bangsa Indonesia. Ideologi politik yang telah mempersatukan suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dan terwujud sebagai sebuah negara kesatuan bukanlah ideologi politik suku bangsa dan tidak bersifat primordial (keyakinan-kayakinan yang pertama dan utama yang didapat bersama dengan kelahiran seseorang). Dalam negara bangsa, waerga masyarakatnya mengembangkan nasionalisme sebagai nilai sosial utama atau semangat patriotisme yang menekankan kesetiaan pada bangsa. Semangat ini mencakup tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai dan tanggung jawab bersama bagi semua warga negara.
Corak patriotisme yang di masa lampau dikembangkan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang dan komunis, adalah semangat kebangsaan yang harus diperkokoh karena adanya ancaman. Di zaman pemerintahan Bung Karno adalah adanya ancaman nekolim. Dan di zaman pemerintahan HM Suharto adalah ancaman bahaya laten komunis. Sebagai masyarakat majemuk, suku bangsa di Indonesia sebagai golongan sosial yang aspiratif adalah satuan yang terwujud dalam komuniti-komuniti dengan kebudayaan-kebudayaan masing-masing, dimana komuniti-komuniti tersebut mempunyai hak ulayat atas lingkun gan hidupnya secara tradisi atau konvensi sosial yang berlaku, serta merupakan sumber bagi kelangsungan kehidupan mereka masing-masing.
Dibandingkan dengan kehidupan bernegara, kehidupan dalam komuniti tersebut bercorak primordial. Satuan kehidupan suku b angsa yang primordial ini lebih diperkuat lagi dengan keyakinan keagamaan mereka m,asing-masing. Keyakinan keagamaan tersebut telah menjadi pandangan hidup (worldview) atau nilai-nilai budaya dasar dan etos (ethos) atau nilai-nilai budaya yang operasional dalam primodial kehidupan warga komuniti suku bangsa yang bersangkutan. Primodialitas ini dapat dilihat sebagai potensi untuk bertindak dan mengorganiasi kegiatan-kegiatan produktif maupun anti produktif dalam menghadapi lingkungan hidup masing-masing.
Potensi anti produktif dalam masyarakat majemuk, terutama diaktifkan dalam menghadapi orang atau kelompok yang tergolong sebagai suku bangsa lain dalam persaingan untuk memperebutkan sumberdaya-sumberdaya dan sumber-sumber rezeki yang ada dalam lingkungan komuniti-komuniti yang bersangkutan.
Kerusuhan di Ambon dan Kalimantan Barat, misalnya dapat dilihat sebagai ekspresi pengaktifan sukubangsa untuk menggalang solidaritas dan menguatkan sentimen anti golongan sukubangsa pihak lawannya. Dalam kasus karusuhan di ambon pada tahap permulaannya, Orang Ambon melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Buton Bugis dan Makassar adalah kategori sosial yang harus dihancurkan. Sedangkan dalam kasus Kalimantan Barat, yaitu di Kabupaten Sambas, Orang Melayu melihat bahwa mereka yang tergolong sebagai or ang Madura harus dihancurkan.
Hal yang sama terjadi di Aceh dan Irian jaya. Dalam kedua kasus terakhir ini pemerintah nasional disamakan dengan pemerintahan Jawa, sehingga sasaran yang digolongkan sebagai musuh adalah Jawa dan/atau yang berkolaburasi deng an Jawa, dan mereka inilah yang dihancurkan komunitinya. Hubungannya antar sukubangsa terwujud sebagau hubungan antar perorangan yang dapat melibatkan hubungan antar kelompok. Hubungan antar suku bangsa bisa terwujud sebagai hubungan pertemanan dan persahabatan dan bahkan hubungan perkawinan yang melibatkan kel ompok-kelompok kerabat dari sukubngsa yang berbeda. Tetapi hubungan antar sukubangsa juga dapat terwujud sebagai hubungan persaingan dan bahkan hubungan konflik.
Dalam setiap hubungan, termasuk hubungan antara sumu bangsa, selalu tercakup hubungan kekuatan. Yaitu hubungan kekuatan diantara para pelaku yang ditunjukkan secara empirik dalam interaksi maupun hubungan yang bercorak kategorial sebagaimana terwujud dalam stereotip dan prasangka diantara para pelaku dari suku bangsa yang berbeda. Profesor E M B runer (1974), dari penelitiannya di Medan dan di Bandung menunjukkan baahwa di Bandung ada kebudayaan Sunda yang dominan. Di Bandung, para migran atau pendatang harus mengadaptasi diri menjadi seperti orang Sunda untuk dapat diterima sebagai bagian dari k ehidupan sehari-hari di kota Bandung. Sedangkan di Medan hal itu tidak diperlukan, karena masing-masing warga (termasuk para pendatang) hidup dalam lingkungan kebudayaan suku bangsa sendiri.
Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintah daerah dapat dilihat sebagai upaya menuju masyarakat sipil yang demokratis di Indonesia. Masyarakat sipil yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang mengakui :kedaulatan rakyat”, pemerintah berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minorotas, jaminan hak-hak asasi manusia, persamaan hak di hadapan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, politik dan budaya, nilai-nilai toleransi, pragmatis, kerjasama dan mufakat (Lubis, 1994 dan USIS, n.d). Dengan adanya UU ini dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah di daerah telah dicoba dikurangi, agar berbagai bentuk ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat di masa lampau terhadap pemerintah di daerah tidak terjadi lagi.
Karena itu UU ini banyak berisikan pengaturan mengenai perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi, serta perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi serta perimbangan pendistribusian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pengaturan hubungan antara badan eksekutif dengan badan legislatif yang saling mengimbangi dapat dikatakan sebagai upaya untuk menciptakan tatanan demokrasi pada tingkat pemerintah pusat dapat dikatakan sebagai tidak sepenuhnya mencerminkan ta tanan yang demokratis. Sebab, adanya dominasi kekuasan pemerintah pusat melalui badan judikatif dapat melemahkan kehidupan demokrasi. Begitu jga dalam UU ini tidak tercermin adanya hak individu dan komuniti (masyarakat lokal).
Hak individu dan hak komuniti atau hak budaya disatu pihak perlu ditinjau dalam kaitan hubungannya dengan upaya penciptaan tatanan kehidupam yang demokratis. Karena, demokrasi bukanlah semata-mata harus dilihat sebagai aturan kenegaraan, tetap sebagai sebuah kehidupan di mana warga negara dan komuniti-komunitinya dalam masyarakat tersebut secara aktif turut berpartisipasi di dalamnya dan turut memproses program-program pembangunan sehingga menghasilkan kesejahteraan hidup yang berkeadilan sosial. Khususnya mengenai hak budaya komuniti (yang mencakup hak untuk hidup menurut cara-cara budaya dan keyakinan keagamaan masing-masing, hak atas lingkungan dan segala isinya yang secara tradisional dan konvensi sosial serta hukum adalah hak ulayatnya).
Pentingnya hak budaya komuniti untuk dipertimbangkan sebagai sebuah UU dalam UU Otonomi daerah adalah karena : 1. hampir semua wilayah RI tidak ada satupun yang penduduknya homogen satu suku bangsa. Dengan kata lain, masyarakat yang akan menjadi daerah otonomi adalah masyarakat yang heterogen secara suku bangsa dan keyakinan keagamaannya. 2.. Hubungan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya adalah hubungan kekuatan. Hubungan antar suku bangsa ini akan menghasilkan suku bangsa yang dominan sebagai lawan dari suku bangsa atau suku bangsa lainnya yang minorotas. Kemunculan dari y ang dominan sebagai lawan dari yang minoritas adalah dari pengakuan sosial mengenai siapa yang paling asli dan siapa yang tidak asli” dan siapa yang pendatang.
Pengakuan yang asli akan dibarengi dengan klaim atas lingkungan dan segala isinya sebagai milik nya yang mutlak. Sehingga mereka yang tergolong sebagai minoritas akan didiskriminasi atau diusir dan bahkan mungkin dihancurkan hak-hak budaya komunitinya. 3.. Konflik-konflik antar suku bangsa yang telah edan sedang terjadi di Indonesia terwujud sebagai penyerangan dan penghancuran komuniti (RT, RW, Kampung, desa, gereja, mesjid, kelenteng, pertokoan, dsb) dari pihak lawan. Penghancuran komuniti ditindak lanjuti dengan pengusiran atau pembersihan wilayah dari orang-orang dan unsur-unsur yang menjadi ciri-ciri pihak lawan. 4. Selama ini polisi telah secara ragu-ragu bertindak dalam melindungi dan menyelamatkan komuniti yang diserang oleh pihak lawan, karena tidak adanya UU yang mengatur ketentuan tentang adanya hak budaya komuniti. Keragu-raguan bertindak tersebut juga d isebabkan oleh kekuatiran akan adanya sanksi pelanggaran HAM, atau karena khawatir masa penyerang akan berbalik menyerang polisi. Padahal personil dan peralatan persenjataan polisi amat terbatas.
Bila sekiranya ada UU mengenai hak budaya komuniti, atau dengan kata lain hak budaya komuniti tersebut dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh UU, maka polisi akan mempunyai pegangan untuk menjalankan kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan keamanan. Bila sekiranya konflik antar suku bangsa yang menghancurkan hak budaya komuniti tidak sepenuhnya dapat ditiadakan setidak-tidaknya akan dapat dikurangi karena polisi akan dapat bertindak secara lebih tegas dalam melindungi keselamatan komuniti dari upaya penghancuran.
Dengan adanya UU ini maka di masa akan datang diskriminasi oleh yang asli terhadap yang tidak asli atau terhadap pendatang akan dapat ditiadakan, atau setidak-tidaknya akan dapat dikurangi. Sehingga, prinsip-prinsip demokrasi akan dapat dijadikan acuan un tuk betul-betul menciptakan tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis melalui dan dalam administrasi pemerintahan otonomi daerah. Dalam bayang-bayang adanya jaminan rasa aman karena adanya perlndungan hukum, maka komuniti sebagai wadah dari dan pendorong bagi kegiatan-kegiatan produksi akan dapat berfungsi dalam produktivitas secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan dapat berfungsi dalam produktivitas
secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan menjadi lebih baik, sehingga sadar atau tidak sadar ingritas kebangsaan akan diperkuat. Tidak ada masyarakat yang sejahtera hidupnya yang akan bersedia untuk saling menghancurkan.
Selama ini konflik-konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan antar seku bangsa dan agama, antar desa atau antar kampung, telah terwujud karena adanya isue mengenai ketidakadilan sosial dan karena memang kehidupan mereka secara ekonomi tidak sejahtera. dalam situasi kriris ekonomi nasionlal yang berkepanjangan, yang masih belum juga terselesaikan, adanya isu tersebut dengan mudah dapat ddigunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk memicu terjadinya konflik sosial.
Tindakan prefentif yang terbaik adalah menciptakan keadilan sosial dengan cara menciptakan kesehjateraan sosial. Yaitu dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan produktif dalam masyarakat, dimana hasil-hasil produksi tersebut dapat betul-betul dinikmati oleh mereka dan bukan oleh para preman atau tukang palak. Cara-cara seperti ini dapat dilakukan dengan mengacu pada model yang pernah dikemukakan oleh Milikan (n.d) atau mengacu pada keberhasilan model pariwisata budaya yang dikembangkan oleh Gubernur Bali Dr. Ida Bagus Mantra (Suparlan, 1993).
Hanya melalui adanya kesejahteraan sosial yang adil dan beradab maka integrritas atau semangat akan kokoh. Karena menciptakan kekokohan integrotas kebangsaan dengan cara menciptakan musuh untuk dihancurkan bagi Indonesia sekarang ini yang sedang menuju masyarakat sipil yang demokratis adalah tidak relevan lagi. Karena, bila musuhnya tidak ada atau hanya dalam imaji maka kekuatan memusuhi yang menghancurkan musuh bayangan tersebut hanya akan berbalik menghancurkan diri sendiri.


Bacaan Acuan :
Bruner, Edward M. (1974), ” The Expression of in Indonesia”. Dalam Abner Cohen (editor),
Urban Ethnicity. London : Tavistock. Hal 251-288.

Lubis, Mochtar (ed) (1994), Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta : Yayasan
OBOR. Milikan,
Max F. (nd), “Keadilan Sosial dan Produktivitas Dalam Pembangunan”. Dalam, Myron
Weiner (ed), Modernisasi : Dinamika pertumbuhan. Voice of America Forum Lecture
Series.

Suparlan, Parsudi (1979), ” Ethnic Groups of Indonesia:, The Indonesian Quarterly, 7,2: 55-73.

—————–(1993), ” Development Programme, Cultural Interpretational, and Successful
Implementation “, The Indonesian Quarterly, I : 99-109.

—————–(1999a), Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(1999b), Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(2000), Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Makalah untuk Simposium dan
Lokakarya Internasional Antropologi. Makassar, 1- 5 Agustus 2000. USIS (n.d), Apakah
Demokrasi Itu? Brosur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar