“Disaat yang lain bersandiwara, gue apa
adanya”. Ya tepat sekali. Apanya yang tepat? Maksudnya tidak asing bagi kita
untuk mendengarkan slogan tersebut. Namun, disini kita tidak akan membahas
mengenai promosi rokok, melainkan mengambil makna filosofis dari kalimat diatas
dengan sedikit mengubah susunan katanya. “Disaat yang lain apa adanya, gue
bersandiwara. Aneh rasanya jika mendengar kata “bersandiwara”, ngak juga kok.
Hehehe. seolah- olah kita hidup dalam kebohongan, kepura- puraan, ataupun
kemunafikan. Eits, bukan itu maksudnya, bersandiwara disini merupakan keadaan
dimana individu akan selalu menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakatnya,
atau dengan istilah lain disebut dramaturgi.
Huh bahasanya teoritis sekali.
Dramaturgi merupakan teori dalam Sosiologi modern atau ilmu
sosial yang dipelopori oleh Erving Goffman. Goffman melihat bahwa setiap individu memiliki dua panggung
sandiwara yang berbeda, sehingga perilaku antara layar depan dan layar belakang
menunjukan perbedaan juga. Bingung Ya? Kita lihat contoh berikut ini, pak ahmad
dikenal siswanya sebagai guru yang berdisiplin baik, ramah tamah, dan
berpenampilan rapi, namun ketika pak ahmad berada pada lingkungan
keluarganya, penilaian siswa pun berbeda.
Banyak menyatakan bahwa pak ahmad orangnya egois, berwatak tegas, dsb.
Nah, itu yang disebut dramaturgi. Sikap
baik pak ahmad pada layar depan (dalam hal ini sekolah) merupakan hasil dari penyesuaian
diri terhadap tuntutan atau pengendalian kesan dalam masyarakat. Sedangkan pada
layar belakang (dalam hal ini keluarga) merupakan tempat pak ahmad yang
terhindar dari tuntutan masyarakat, artinya ia berada pada posisi “sendirian”
sehingga perilakunya menampakan keaslian. INGAT, perlu dicatat, bahwa perbedaan
perilaku tersebut bukan kepura- puraan belaka (artinya dikendalikan oleh alam
bawah sadar, ya walaupun ada oknum tertentu yang tidak demikian dan
memanfaatkan untuk kecurangan), melainkan pengendalian kesan dan sekaligus
tuntutan masyarakat. Jika pak ahmad tidak sesuai dengan perilaku guru, ya tentu
masyarakat akan kecewa. Punya guru yang tidak tau diri, berpakaian yang serba
aneh dan terbilang “membosankan”? Ya kecewalah kita. Nah seperti itulah
Dramaturgi.
Lalu, seberapa jauh dramaturgi itu
diperlukan? Ya sejauh mata memandang, hehehe. Bukan. Tapi perlu kiranya kita
melihat strategi berikut ini. Pertama, pemahaman akan inti dramaturgi menjadi
hal yang harus dipelajari, agar tidak terjadi “penyimpangan” dalam
bersandiwara. Memahami artinya, tau bahwa diri kita sebenarnya dibutuhkan dalam
masyarakat, itu artinya berprilakulah yang baik sesuai dengan posisi dan
tuntutan. Kedua, prilaku kita pada layar depan (dihadapkan pada masyarakat)
sebaiknya menunjukan kemurnian bukan sekedar tuntutan, karena kemurnian sikap,
seperti berdisiplin murni (ex,
Jepang), dsb merupakan awal komunikasi yang baik sekaligus membuka kran
persahabatan.
Bagaimana kalau teori dramaturgi ini
tidak diterapkan? Kita lihat dulu contoh kasus berikut ini. Lho bukannya tadi
sudah, ini yang aplikatifnya tau. Anggaplah bahwa kita sebagai orang yang
berpengaruh, barangkali seorang guru, dosen, polisi, politikus, atau mahasiswa
sekalipun. Kondisi kita dihadapkan pada tuntutan masyarakat, seperti halnya
mengayomi, menjadi contoh, ataupun menjadi penasehat. Nah, bagaimana kalau
semua itu tidak kita lakukan dengan kesadaran? Ya iya dong, masa’ ya iya lah, tentu
masyarakat akan menjauh dan tidak menganggap kita. Kalau begitu, rugi dong
kalau kita tidak menerapkan teori dramaturgi, apalagi tidak mengikuti dua
strategi yang disebutkan diatas. Setuju?