RSS

Goresan Tinta (Kumpulan Puisi)




JANGAN BERSEDIH
Jika mendengar kata- kata yang kasar
Jangan bersedih
Karena kedengkian itu sudah ada sejak dulu

Jika mempunyai sesuatu yang sedikit
Jangan bersedih
Sebab padanya terdapat keselamatan

Jika dihadapkan pada kesulitan dan permasalahan
Jangan bersedih
Karena itu semua masih kecil dihadapan Sang Khalik





MAAFKANLAH
Jangan biarkan bintik hitam menjadi karat hati
Yang olehnya ilmu dan kebenaran sulit diterima
Yang olehnya mata dan telinga tertutup rapat
Jangan biarkan kecacatan hati menjadi pribadi diri
Karena dengannya cahaya putih menjadi sunyi
Karena dengannya langit dan bumi menutup hari

Maafkanlah
Yang mungkin tidak bisa merubah masa lalu
Tapi setidaknya memperbaiki masa depan





PENYESALAN AKHIR
Awan biru menutup hari
Tanda dunia akan menangis
Anak kandung dipangku asing
Tanda hati lupa diri

Hati lupa karena risih
Mengingat hari semakin sempit
Upaya menjadi sulit
Jadilah ia penyesalan akhir




BERMUARA PADA DUA PILIHAN
Angin kering menyayat hati
Bagai bayangan di malam hari
Kering membawa kehausan
Kering membawa penderitaan

Angin basah di tempat tinggi
Bagai cahaya yang diiringi
Basah membawa dingin
Basah membawa sunyi
Hati kering kebiasaan dengki
Hati bersih kebiasaan bersuci
Kesabaran atau kebencian


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan


Parsudi Suparlan, Universitas Indonesia
Disampaikan dalam Diskusi Gandi Afternoon Forum Nasionalisme Dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi Kebangsaan
Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi)
Jakarta , 26 Oktober 2000 


Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau Bhineka Tunggal Ika (Suparlan, 1979) yang sedang mengalami transisi dari coraknya yang otoriter dan militeristik menuju masyarakat majemuk yang demokratis. Dalam proses demokrasinya Indonesia hanya mengakui dua kekuatan politik yaitu negara (pemerintah) dan individu (HAM). Pedoman bagi kehidupan atau kebudayaan demokrasi adalah konflik. Konflik yang terwujud sebagai proses-proses persaingan dan pertentangan untuk memenagkan sesuatu kepentingan atau sumber-su mberdaya yang ada dalam masyarakatnya. Dalam mengacu pada hukum dan konvensi yang berlaku, yang selalu ada wasit atau jurinya, menghasilkan kehancuran atau chaos.
Sebab, Bila sampai terjadi chaos maka ada yang bukan lagi demikrasi tetapi sewenang-wenangan atau otoriter. Sebab prinsip mendasar yang menjadi tujuan dari demokrasi adalah produktivitas. Produktivitas yang menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa dan negara. Dalam masa transisi sekarang ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menjalani kehidupan demokrasi . karena , disamping yang produktif, yang banyak adalah tukang-tukang palak ( bahkan ketua DPR Akbar Tanjung menduga bahwa pemerintah pun punya tukang palak, seperti dikutip di Pos Kota 22 Oktober 2000), atau preman. Tukang palak atau preman dapat dikatakan sebagai benalu masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung tindakan-tindakan mereka itu menghancurkan tatanan demokrasi.
Tiada tatanan hukum yang mantap yang dapat dijadikan acuan sebagai aturan main, dan belum mantapnya fungsi polisi sebagai pelayan keamanan bagi earga masyarakat, komuniti setempat, dan negara, telah menyebabkan bahwa berbagai bentuk konflik individual, ke lompok, antar kampung atau desa dan antar komuniti yang berbeda suku bangsa dan agama menjadi semakinmenjadi-jadi. Konflik antar individu bukan hanya saling menghancurkan secara individual tetapi menghancurkan rumah-rumah dabn harta benda (seperti perist iwa di Manggarai dan Matraman), kampung atau desa ( seperti di Cilacap, Brebes, Losari dan Indramayu), menjadi konflik antar suku bangsa (seperti yang terjadi di ambon dan Maluku) yang menghancurkan seluruh kehidupan komuniti dan tatanan kehidupan bersama dalam masyarakat yang mejemik. Atau konflik antara kelompok-kelompok di daewrah propinsi dengan pemerintahan nasional, dimana yang menjadi korban adalah warga dan komuniti yang dianggap bukan asli setempat, seperti terjadi di Aceh dan Irian jaya (Papua).
Dari semua konflik-konflik tersebut, yang selalu menjadi korban adalah komuniti (RT, RW, kampung, desa, pemukiman atau pertokoan). Mengapa hal ini dapat terjadi ? karena, dalam prinsip demokrasi yang kita pegang sekarang ini hak budaya komuniti tidak terc akup di dalamnya. Karena tidak tercakup didalamnya maka juga hak budaya komuniti tidak dijamin keberadaannya oleh undang-undang atau hukum yang kita punyai. Karena itu juga para pelaku kerusuhan atau amuk masa yang menghancurkan kehidupan komuniti tidak p ernah sampai dibawa ke pengadilan untuk diganjar dengan hukuman.. padahal, dalam komuniti itulah kesejahteraan warga masyarakat dipelihara dan dikembangkan untuk prduktivitas.
Sadar atau tidak sadar, membiarkan penghancuran atas komuniti-komuniti yang sek arang banyak berlaku di Indonesia sebenarnya bukan saja menghancurkan produktifitas dan kesejahteraan hidup tetapi adalah juga sama dengan membiarkan kehancuran tatanan demokrasi dan kebangsaan. Karena itu, hak budaya komuniti, terutama hak budaya komunit i yang tergolong minorotas, harus dijamin oleh undang-undang, sebagai unsur dari tatanan demokrasi, bersama dengan dijaminnya hak dan kewajiban negara dan individu. (HAM).
Demokrasi bukan hanya dilandasi oleh adanya hak serta kewajiban dari pemerintah (negara) dan hak serta kewjiban dari individu, melainkan dilandasi pula oleh adanya hak serta kewajiban dari komuniti (masdyarakat lokal) yang terwujud sebagai hak komuniti. Tiga unsur tersebut adalah tiang penyangga demokrasi. Masing-masing berdiri sendiri dan saling menghormati, tetapi masing-masing saling bersaing untuk memenagkan haknya, yang haknya tersebut akan didukung oleh dua unsur lainnya.
Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sebuah negara bangsa. Sebuah negara yang dibangun berdasarkan atas prinsip ideologi politik yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang dengan semangat persatuan dan kesatuan telah mempersatukan lebih dari 500 suku bangsa menjadi sebuah bangsa Indonesia. Ideologi politik yang telah mempersatukan suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dan terwujud sebagai sebuah negara kesatuan bukanlah ideologi politik suku bangsa dan tidak bersifat primordial (keyakinan-kayakinan yang pertama dan utama yang didapat bersama dengan kelahiran seseorang). Dalam negara bangsa, waerga masyarakatnya mengembangkan nasionalisme sebagai nilai sosial utama atau semangat patriotisme yang menekankan kesetiaan pada bangsa. Semangat ini mencakup tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai dan tanggung jawab bersama bagi semua warga negara.
Corak patriotisme yang di masa lampau dikembangkan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang dan komunis, adalah semangat kebangsaan yang harus diperkokoh karena adanya ancaman. Di zaman pemerintahan Bung Karno adalah adanya ancaman nekolim. Dan di zaman pemerintahan HM Suharto adalah ancaman bahaya laten komunis. Sebagai masyarakat majemuk, suku bangsa di Indonesia sebagai golongan sosial yang aspiratif adalah satuan yang terwujud dalam komuniti-komuniti dengan kebudayaan-kebudayaan masing-masing, dimana komuniti-komuniti tersebut mempunyai hak ulayat atas lingkun gan hidupnya secara tradisi atau konvensi sosial yang berlaku, serta merupakan sumber bagi kelangsungan kehidupan mereka masing-masing.
Dibandingkan dengan kehidupan bernegara, kehidupan dalam komuniti tersebut bercorak primordial. Satuan kehidupan suku b angsa yang primordial ini lebih diperkuat lagi dengan keyakinan keagamaan mereka m,asing-masing. Keyakinan keagamaan tersebut telah menjadi pandangan hidup (worldview) atau nilai-nilai budaya dasar dan etos (ethos) atau nilai-nilai budaya yang operasional dalam primodial kehidupan warga komuniti suku bangsa yang bersangkutan. Primodialitas ini dapat dilihat sebagai potensi untuk bertindak dan mengorganiasi kegiatan-kegiatan produktif maupun anti produktif dalam menghadapi lingkungan hidup masing-masing.
Potensi anti produktif dalam masyarakat majemuk, terutama diaktifkan dalam menghadapi orang atau kelompok yang tergolong sebagai suku bangsa lain dalam persaingan untuk memperebutkan sumberdaya-sumberdaya dan sumber-sumber rezeki yang ada dalam lingkungan komuniti-komuniti yang bersangkutan.
Kerusuhan di Ambon dan Kalimantan Barat, misalnya dapat dilihat sebagai ekspresi pengaktifan sukubangsa untuk menggalang solidaritas dan menguatkan sentimen anti golongan sukubangsa pihak lawannya. Dalam kasus karusuhan di ambon pada tahap permulaannya, Orang Ambon melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Buton Bugis dan Makassar adalah kategori sosial yang harus dihancurkan. Sedangkan dalam kasus Kalimantan Barat, yaitu di Kabupaten Sambas, Orang Melayu melihat bahwa mereka yang tergolong sebagai or ang Madura harus dihancurkan.
Hal yang sama terjadi di Aceh dan Irian jaya. Dalam kedua kasus terakhir ini pemerintah nasional disamakan dengan pemerintahan Jawa, sehingga sasaran yang digolongkan sebagai musuh adalah Jawa dan/atau yang berkolaburasi deng an Jawa, dan mereka inilah yang dihancurkan komunitinya. Hubungannya antar sukubangsa terwujud sebagau hubungan antar perorangan yang dapat melibatkan hubungan antar kelompok. Hubungan antar suku bangsa bisa terwujud sebagai hubungan pertemanan dan persahabatan dan bahkan hubungan perkawinan yang melibatkan kel ompok-kelompok kerabat dari sukubngsa yang berbeda. Tetapi hubungan antar sukubangsa juga dapat terwujud sebagai hubungan persaingan dan bahkan hubungan konflik.
Dalam setiap hubungan, termasuk hubungan antara sumu bangsa, selalu tercakup hubungan kekuatan. Yaitu hubungan kekuatan diantara para pelaku yang ditunjukkan secara empirik dalam interaksi maupun hubungan yang bercorak kategorial sebagaimana terwujud dalam stereotip dan prasangka diantara para pelaku dari suku bangsa yang berbeda. Profesor E M B runer (1974), dari penelitiannya di Medan dan di Bandung menunjukkan baahwa di Bandung ada kebudayaan Sunda yang dominan. Di Bandung, para migran atau pendatang harus mengadaptasi diri menjadi seperti orang Sunda untuk dapat diterima sebagai bagian dari k ehidupan sehari-hari di kota Bandung. Sedangkan di Medan hal itu tidak diperlukan, karena masing-masing warga (termasuk para pendatang) hidup dalam lingkungan kebudayaan suku bangsa sendiri.
Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintah daerah dapat dilihat sebagai upaya menuju masyarakat sipil yang demokratis di Indonesia. Masyarakat sipil yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang mengakui :kedaulatan rakyat”, pemerintah berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minorotas, jaminan hak-hak asasi manusia, persamaan hak di hadapan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, politik dan budaya, nilai-nilai toleransi, pragmatis, kerjasama dan mufakat (Lubis, 1994 dan USIS, n.d). Dengan adanya UU ini dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah di daerah telah dicoba dikurangi, agar berbagai bentuk ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat di masa lampau terhadap pemerintah di daerah tidak terjadi lagi.
Karena itu UU ini banyak berisikan pengaturan mengenai perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi, serta perimbangan pendistribuan sumber-sumber daya alam dan energi serta perimbangan pendistribusian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pengaturan hubungan antara badan eksekutif dengan badan legislatif yang saling mengimbangi dapat dikatakan sebagai upaya untuk menciptakan tatanan demokrasi pada tingkat pemerintah pusat dapat dikatakan sebagai tidak sepenuhnya mencerminkan ta tanan yang demokratis. Sebab, adanya dominasi kekuasan pemerintah pusat melalui badan judikatif dapat melemahkan kehidupan demokrasi. Begitu jga dalam UU ini tidak tercermin adanya hak individu dan komuniti (masyarakat lokal).
Hak individu dan hak komuniti atau hak budaya disatu pihak perlu ditinjau dalam kaitan hubungannya dengan upaya penciptaan tatanan kehidupam yang demokratis. Karena, demokrasi bukanlah semata-mata harus dilihat sebagai aturan kenegaraan, tetap sebagai sebuah kehidupan di mana warga negara dan komuniti-komunitinya dalam masyarakat tersebut secara aktif turut berpartisipasi di dalamnya dan turut memproses program-program pembangunan sehingga menghasilkan kesejahteraan hidup yang berkeadilan sosial. Khususnya mengenai hak budaya komuniti (yang mencakup hak untuk hidup menurut cara-cara budaya dan keyakinan keagamaan masing-masing, hak atas lingkungan dan segala isinya yang secara tradisional dan konvensi sosial serta hukum adalah hak ulayatnya).
Pentingnya hak budaya komuniti untuk dipertimbangkan sebagai sebuah UU dalam UU Otonomi daerah adalah karena : 1. hampir semua wilayah RI tidak ada satupun yang penduduknya homogen satu suku bangsa. Dengan kata lain, masyarakat yang akan menjadi daerah otonomi adalah masyarakat yang heterogen secara suku bangsa dan keyakinan keagamaannya. 2.. Hubungan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya adalah hubungan kekuatan. Hubungan antar suku bangsa ini akan menghasilkan suku bangsa yang dominan sebagai lawan dari suku bangsa atau suku bangsa lainnya yang minorotas. Kemunculan dari y ang dominan sebagai lawan dari yang minoritas adalah dari pengakuan sosial mengenai siapa yang paling asli dan siapa yang tidak asli” dan siapa yang pendatang.
Pengakuan yang asli akan dibarengi dengan klaim atas lingkungan dan segala isinya sebagai milik nya yang mutlak. Sehingga mereka yang tergolong sebagai minoritas akan didiskriminasi atau diusir dan bahkan mungkin dihancurkan hak-hak budaya komunitinya. 3.. Konflik-konflik antar suku bangsa yang telah edan sedang terjadi di Indonesia terwujud sebagai penyerangan dan penghancuran komuniti (RT, RW, Kampung, desa, gereja, mesjid, kelenteng, pertokoan, dsb) dari pihak lawan. Penghancuran komuniti ditindak lanjuti dengan pengusiran atau pembersihan wilayah dari orang-orang dan unsur-unsur yang menjadi ciri-ciri pihak lawan. 4. Selama ini polisi telah secara ragu-ragu bertindak dalam melindungi dan menyelamatkan komuniti yang diserang oleh pihak lawan, karena tidak adanya UU yang mengatur ketentuan tentang adanya hak budaya komuniti. Keragu-raguan bertindak tersebut juga d isebabkan oleh kekuatiran akan adanya sanksi pelanggaran HAM, atau karena khawatir masa penyerang akan berbalik menyerang polisi. Padahal personil dan peralatan persenjataan polisi amat terbatas.
Bila sekiranya ada UU mengenai hak budaya komuniti, atau dengan kata lain hak budaya komuniti tersebut dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh UU, maka polisi akan mempunyai pegangan untuk menjalankan kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan keamanan. Bila sekiranya konflik antar suku bangsa yang menghancurkan hak budaya komuniti tidak sepenuhnya dapat ditiadakan setidak-tidaknya akan dapat dikurangi karena polisi akan dapat bertindak secara lebih tegas dalam melindungi keselamatan komuniti dari upaya penghancuran.
Dengan adanya UU ini maka di masa akan datang diskriminasi oleh yang asli terhadap yang tidak asli atau terhadap pendatang akan dapat ditiadakan, atau setidak-tidaknya akan dapat dikurangi. Sehingga, prinsip-prinsip demokrasi akan dapat dijadikan acuan un tuk betul-betul menciptakan tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis melalui dan dalam administrasi pemerintahan otonomi daerah. Dalam bayang-bayang adanya jaminan rasa aman karena adanya perlndungan hukum, maka komuniti sebagai wadah dari dan pendorong bagi kegiatan-kegiatan produksi akan dapat berfungsi dalam produktivitas secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan dapat berfungsi dalam produktivitas
secara lebih baik. Kesejahteraan sosial akan menjadi lebih baik, sehingga sadar atau tidak sadar ingritas kebangsaan akan diperkuat. Tidak ada masyarakat yang sejahtera hidupnya yang akan bersedia untuk saling menghancurkan.
Selama ini konflik-konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan antar seku bangsa dan agama, antar desa atau antar kampung, telah terwujud karena adanya isue mengenai ketidakadilan sosial dan karena memang kehidupan mereka secara ekonomi tidak sejahtera. dalam situasi kriris ekonomi nasionlal yang berkepanjangan, yang masih belum juga terselesaikan, adanya isu tersebut dengan mudah dapat ddigunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk memicu terjadinya konflik sosial.
Tindakan prefentif yang terbaik adalah menciptakan keadilan sosial dengan cara menciptakan kesehjateraan sosial. Yaitu dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan produktif dalam masyarakat, dimana hasil-hasil produksi tersebut dapat betul-betul dinikmati oleh mereka dan bukan oleh para preman atau tukang palak. Cara-cara seperti ini dapat dilakukan dengan mengacu pada model yang pernah dikemukakan oleh Milikan (n.d) atau mengacu pada keberhasilan model pariwisata budaya yang dikembangkan oleh Gubernur Bali Dr. Ida Bagus Mantra (Suparlan, 1993).
Hanya melalui adanya kesejahteraan sosial yang adil dan beradab maka integrritas atau semangat akan kokoh. Karena menciptakan kekokohan integrotas kebangsaan dengan cara menciptakan musuh untuk dihancurkan bagi Indonesia sekarang ini yang sedang menuju masyarakat sipil yang demokratis adalah tidak relevan lagi. Karena, bila musuhnya tidak ada atau hanya dalam imaji maka kekuatan memusuhi yang menghancurkan musuh bayangan tersebut hanya akan berbalik menghancurkan diri sendiri.


Bacaan Acuan :
Bruner, Edward M. (1974), ” The Expression of in Indonesia”. Dalam Abner Cohen (editor),
Urban Ethnicity. London : Tavistock. Hal 251-288.

Lubis, Mochtar (ed) (1994), Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta : Yayasan
OBOR. Milikan,
Max F. (nd), “Keadilan Sosial dan Produktivitas Dalam Pembangunan”. Dalam, Myron
Weiner (ed), Modernisasi : Dinamika pertumbuhan. Voice of America Forum Lecture
Series.

Suparlan, Parsudi (1979), ” Ethnic Groups of Indonesia:, The Indonesian Quarterly, 7,2: 55-73.

—————–(1993), ” Development Programme, Cultural Interpretational, and Successful
Implementation “, The Indonesian Quarterly, I : 99-109.

—————–(1999a), Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(1999b), Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.

—————-(2000), Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Makalah untuk Simposium dan
Lokakarya Internasional Antropologi. Makassar, 1- 5 Agustus 2000. USIS (n.d), Apakah
Demokrasi Itu? Brosur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Adaptasi Dalam Antropologi


Oleh: Adi Prasetijo (tijok)
Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu konsep yang cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi (Adaptation). Kita harus memahami latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi “dewa” dalam paradigma perkembangan teori ilmu sosial, khususnya antropologi. Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang ada. Untuk tidak mengherankan jika secara epistemologi, teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya.
Ini berbeda memang dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak mendasarkannya pada proses penalaran induktif – dari gejala empiris terlebih dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para antropolog saat itu.
Konsep Dasar Teori Adaptasi
Konsep adaptasi datang dari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan, tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan level gerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi dari teori sistem, baik secara biological, perilaku, dan sosial yang dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250).
Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).
Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah (1) tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.
Dasar pembagian ke-4 tipe adaptasi diatas, berdasarkan atas laju kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf.
Disini ada proses uji coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses bekerjanya dianggap lebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia dianggap bekerja melalui daya tahan hidup populasi dimana masing-masing komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan. Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja dalam sistem biologi.
Adaptasi Sebagai Strategi Bertahan Hidup Manusia
Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada. Beberapa adaptasi juga adalah kesempatan, efek dari sosial dan praktek kultural yang secara tidak sadar mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi dari ke-3 mekanisme tersebut diatas.
Misalnya, variasi dalam praktek kultural mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya /group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.
Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yang lengkap/ bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya.
Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry, 243). Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190).
Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber alam dan pemakaiannya (Stanley A. Freed &; Ruth S. Freed, 220-226). Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika telah tercipta / dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan habitatnya.
Adaptasi ini merupakan daya tahan/ kelangsungan hidup kelompkk, reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini bekerja sesuai dengan tugasnya. Pencapaian dari tipe dari hungan yang semangat/ bergairah selelau meruipakan hasil modifikasi reprokal dalam budaya dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi hubungan sosial selam periode yang panjang. Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen dari apa yang kita lihat dari kubudayaan.
Dalam antroplogi ketika berbicara tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati. Lebih spesifik, kita berbicara tentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individu yang dipelajari dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).
Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara khusus menysesuaikan diri dengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabila mengacu pada proses belajar, respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi yang paling fleksibel.
Menurut Hardestry, ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi.
Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240).
Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243). Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian tujuan dan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan lingkungan.
Ada 2 mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya, dan mode yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat resiprositas. Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir tujuan dan beberapanya menjadi instrumental. Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, dan putusan.
Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry,271-272).
Adaptasi dan Konteks Kekinian
Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:
1.      Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah = terukur jelas, sehingga acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental disini. Ukuran-ukuran kemajuan dalam perubahan juga nampak dalam teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk suatu komuniti tertentu itu.
2.      Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut. Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri. 3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga menjadi subyektif saya pikir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS